Rabu, 23 April 2014

Mengenal 9 Srikandi Penerbang Indonesia

Memang tidak mudah bagi perempuan  untuk bersaing dan menggeluti dunia kerja yang sejak dahulu didominasi oleh kaum pria. Apalagi jenis pekerjaan tersebut sering dihubungkan dengan kemampuan fisik yang dianggap maskulin, salah satunya berprofesi sebagai pilot.

Walau di Indonesia profesi pilot masih didominasi oleh kaum pria, namun Srikandi-Srikandi penjelajah langit seperti Ida Fiqriah, Agatha Asri Herini, Isma Kania Dewi,Sarah Kusuma, Allendia Traviana, Iin Irjayanti, Esther Gayatri Saleh, Fariana Dewi Djakaria dan Sekti Ambarwaty dapat membuktikan dirinya sebagai perempuan Indonesia yang tangguh dan mampu disejajarkan dengan kaum pria.

Untuk mengenal mereka, dibawah ini hasil penelusuran ulang beberapa data terkait sembilan Srikandi Penerbang Indonesia.



IDA FIQRIAH DAN AGATHA ASRI HERINI

da Fiqriah, 30 tahun,  kini menjadi pilot wanita satu-satunya di maskapai Garuda Indonesia. Dia  menikah dengan Ahsanul Muqaffi, seorang kapten polisi yang bekerja di Polres Jakarta Baratdan dikaruniai seorang anak namun Ida tetap terbang. Ida adalah sulung dari empat bersaudara. Orang tuanya guru sekolah dasar. Ida sempat kuliah di Jurusan Matematika Fakultas MIPA, Universitas Lampung. Kuliah yang ternyata hanya dilakoninya satu semester. Ia mendaftar ke Curug, dan lulus. Ada sembilan tahap yang harus dilaluinya dengan sistem gugur, termasuk bakat penerbang dan postur-tinggi minimal 165 cm, panjang kaki minimal 100 cm, sesuai standar duduk internasional. Kepadanya, dipercayakan pesawat besar Airbus 330 berpenumpang 300-an orang untuk diterbangkan ke seluruh penjuru dunia.

Sementara Agatha, selain seorang pilot, ia juga menjadi instruktur pilot di maskapai yang sama. Ia mendapat wewenang besar untuk meloloskan atau menggagalkan seorang pilot, pria dan wanita, untuk memegang sebuah pesawat





ISMA KANIA DEWI

Selepas lulus SMA Regina Pacis, Bogor, Isma Kania Dwei  mendapatkan beasiswa untuk menuntut ilmu menjadi pilot di Pusat Latihan Penerbangan Curug di Tangerang hingga memperoleh Commercial Pilot License Multi Engine Instructor Rating.  Pada tahun 1997 ia lulus sebagai Pilot Wanita Pertama dari Sekolah Penerbangan CURUG, Jakarta


Ia lantas bergabung bersama Garuda pada tahun 1998 dan berhasil menerbangkan Boeing 737 300-400-500 series, pesawat komersil pertamanya

Isma lahir tanggal 4 Oktober 1975, sejak kecil Isma senang sekali kalau melihat orang dengan seragam Pilot.
Siklus hidup wanita ini ternyata sungguh mujur. Sempat menjadi pilot Qatar Airways. Ia telah menerbangkan pesawat hingga ke Austria, Rusia dan Abu Dhabi. Saat Isma menjadi piot Etihad Airways -  United Arab Emirates.



SARAH KUSUMA

Sarah Kusuma, perempuan kelahiran Bandung, 3 Maret 1978. Selepas lulus dari SMA Negeri 7 Cikokol, Tangerang, pada tahun 2005, postur 165 sentimeter dan berat 52 kilogram.

Sebetulnya cita-cita utama perempuan kelahiran Bandung, 3 Maret 1988 itu adalah menjadi dokter. Tapi ia harus mengubur cita-cita tersebut karena kondisi keuangan orang tuanya tak memungkinkan mereka merogoh kocek hingga ratusan juta rupiah untuk membiayainya.

Karena itu, selepas lulus dari SMA Negeri 7 Cikokol, Tangerang, pada 2005, Sarah berupaya mencari tempat kuliah yang gratis. Sekolah Tinggi Penerbangan (STP) di Curug-lah yang kemudian dipilihnya

Sarah Kusuma termasuk pilot wanita muda, sudah menerbangkan  Boing 737 tipe klasik, tapi juga yang mutakhir seperti Boeing 737 next generation.

Sumber : Majalah Tempo dan  kadri-blog.blogspot.com




ALLENDIA TRAVIANA

Wanita kelahiran Kupang, 10 November 1989, Sebenarnya untuk menjadi pilot  bukan pilihan utamanya. Awalnya dia bercita-cita menjadi dokter gigi, oleh karena  itu sempat diterima di Fakultas Psikologi Universitas Negeri Solo pada 2007. Tapi karena kalkulasi biaya, ia akhirnya memilih ke sekolah penerbang Aero Flyer Institute milik Batavia Air. Dia mengikuti ikatan dinas dengan Batavia selama 16,5 tahun sejak masa pendidikan selama dua tahun.

Anak bungsu dari M. Budi Kuntjo dan Mieke Radiana itu kini menjadi satu dari dua pilot perempuan di maskapai Batavia Air. Ia dipercaya menerbangkan Boeing tipe 737-300, 400, dan 500 untuk rute domestik

Sumber : Majalah Tempo dan  kadri-blog.blogspot.com

IIN IRJAYANTI

Raden Roro Iin Irjayanti, Gadis cantik yang akan memasuki usia 27 tahun pada 4 November ini adalah satu dari dua pilot perempuan di maskapai Batavia Air, satu rekan dengan Allendia Traviana. Dia sempat mengikuti mengikuti kontes kecantikan dengan konsep Beauty, Brain, Behavior: Puteri Indonesia tahun 2010. Lulus Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia, Curug, Tangerang, angkatan 58 tahun 2004.

IIn berdomisilinya di Tangerang, Meskipun demikian ia menyebut dirinya orang Papua, karena lahir di Jayapura. Menjadi pilot adalah juga merupakan cita-cita almarhum ayahnya

Anak tunggal keturunan Keraton Kanoman Cirebon dari garis ayahnya ini ingin membuktikan bahwa perempuan bisa menonjolkan sisi feminin dan maskulin sekaligus. Iin yang menjalani sekolah penerbangan selama dua tahun dua bulan, terlatih sebagai taruni yang maskulin. Kemudian menjalani empat tahun profesi sebagai kopilot dengan 3.000 jam terbang,  kini, sudah menerbangkan pesawat Boeing 737 seri 300-400,

Sumber : kompas.com




ESTHER GAYATRI SALEH

Esther Gayatri Saleh (49 tahun). Ia merupakan seorang pilot penguji senior di PT Dirgantara Indonesia (DI). Esther bertugas sebagai pilot yang mengetes pesawat-pesawat baru. Dia juga bertugas untuk membuat manual untuk pilot-pilot pesawat komersil,

Esther pertama kali menikmati sensasi terbang pada 1984. Baginya, terbang adalah pengalaman yang luar biasa. Dengan terbang, keinginannya untuk melihat Indonesia terwujud sudah. Kini, ia menjadi penerbang perempuan pertama dengan jam terbang terbanyak, lebih dari  6.000 jam.

Menerbangkan pesawat yang belum pernah diterbangkan, kata Esther berbeda dengan tugas pilot komersial. Pilot komersial menerbangkan pesawat-pesawat yang sudah teruji sebelumnya. Hal ini lebih mudah, karena pesawat tersebut sudah disertifikasi dan aman untuk diterbangkan. Sedangkan dia harus menguji sejak pesawat itu jadi, baik menguji di darat, maupun di udara

Sumber: Republika  dan roronoa9.wordpress.com



FARIANA DEWI DJAKARIA

Perempuan kelahiran Pariaman Provinsi Sumatera Barat ini mengaku, sejak dulu ingin menjadi penerbang. Cita-citanya menjadi penerbang, begitu kuat, apalagi selama ini dia banyak mendengar kalau perempuan tidak bisa menjadi penerbang helicopter. Dia adalah pilot helikopter pertama di TNI AU.

Sejak berdiri pada 12 Agustus 1963, Wanita angkatan udara (WARA) tidak lagi sekadar bertugas di belakang meja sebagai staf administrasi, guru bahasa, dokter atau bidang hukum. Para srikandi udara itu kini telah banyak yang berkiprah sebagai teknisi, pengawas lalu lintas udara dan penerbang. Untuk penerbang, para srikandi udara itu mayoritas dipercaya memegang kemudi pesawat angkut ringan seperti CN-235 dan Cassa 212.

Tentang impian lainnya, Fariana yang kini menjadi bagian dari Skadron 7 Pangkalan Udara (Lanud) TNI AU Suryadharma, Subang, bercita-cita menjadi instruktur penerbang wanita pertama.



SEKTI AMBARWATY

Letnan Satu (Lettu) Setia Ambarwati mungkin bisa jadi salah satu bukti bahwa kaum perempuan mampu pula berkiprah di bidang militer dan penerbangan. Perempuan yang biasa disapa Lettu Ambar itu sehari-hari memang bekerja di Skuadron 2 Lapangan Udara Halim Perdana Kusuma, Jakarta, sebagai penerbang.

Sekti lahir di Malang,18 Oktober 1983. Karier sebagai penerbang yang dijalani Ambar memang terbilang langka. Pasalnya, tahun 1985 hingga sekitar 2005, TNI Angkatan Udara (TNI AU) praktis tidak memiliki penerbang perempuan. Barulah setelah hampir 20 tahun terjadi kevakuman, TNI AU kembali mengaktifkan penerbang-penerbang perempuan untuk melengkapi skuadron-skuadron penerbangan mereka. Dan, Ambar menjadi satu dari sedikit perempuan yang terpilih untuk memperkuat skuadron penerbangan TNI AU.
    

Selamat merayakan hari Kartini


Selasa, 01 April 2014

Dibalik Sejarah Muncul nya Vespa Congo




Seperti telah kita sama-sama ketahui, perang yang berkecamuk di benua Afrika dalam dekade 1960'an memberikan dampak yang irasional terhadap popularitas Vespa khususnya di tanah air tercinta ini.

Sebagai bagian dari kepedulian Bangsa Indonesia terhadap perdamaian dunia, maka setelah berakhirnya Perang Congo (negara ini beberapa kali berganti nama Congo, Zaire, Congo) tanggal 31 Juli 1960 PBB mendaulat Republik Indonesia untuk mengirimkan pasukannya guna menjadi bagian dari pasukan penjaga perdamaian di Negara Congo.


 Wujud kepedulian yang tinggi atas perdamaian dimuka bumi, Bangsa Indonesia mengutus pasukan terbaiknya ke Congo dengan sandi Pasukan Garuda Indonesia melalui beberapa kali pendaratan. 

Setelah tugas sebagai pasukan penjaga perdamaian diselesaikan, Pasukan Garuda Indonesia menerima tanda penghargaan dari Pemerintah Republik Indonesia, dimana salah satunya berupa Vespa (dari beberapa sumber mengatakan bahwa dalam pemberian itu juga ada yang berbentuk uang dan beberapa peti jarum jahit).

Terlihat disini Vespa sesungguhnya telah mengikat kita (para scooteris) dengan bangsa kita dalam kancah internasional, walaupun tidak pernah tertulis dalam tinta emas sejarah republik ini. 

Menarik disimak bahwa penghargaan Vespa tersebut juga tidak terlepas dari tradisi dalam dunia kemiliteran. Beberapa sumber mengatakan bahwa untuk Vespa yang berwarna hijau 150 cc ditujukan bagi tentara yg lebih tinggi tingkat kepangkatannya,



sementara yang berwarna kuning dan biru 125 cc untuk tingkat kepangkatan yang lebih rendah. Selain itu guna melengkapi jati diri atas Vespa dimaksud juga di sematkan tanda nomor prajurit yang bersangkutan,

pada sisi sebelah kiri handlebar (stang) yang berbentuk oval terbuat dari bahan kuningan serta sebuah piagam penghargaan yang menyertainya. 

Setelah itu maka pada tahun-tahun tersebut ramailah Vespa dengan sebutan Vespa Congo berseliweran di jalan-jalan, sebuah Vespa baru yang menambah tipe Vespa sebelumnya telah hadir. Kondisi ini ternyata juga memberikan dampak positif bagi penjualan Vespa di tanah air saat itu. Vespa Congo yang berbentuk bulat telah memberikan konstribusi berupa iklan gratis bagi importir Vespa di Indonesia.

Perkembangan ini kemudian menimbulkan semacam stigma disini bahwa Vespa yg berbentuk bulat ya...Vespa Congo. 

Jadi jangan heran apabila saat ini generasi sebelum kita menyebut Vespa bulat dengan sebutan Vespa Congo, walaupun Vespa yang dimaksud sesungguhnya adalah Vespa keluaran tahun 1962 atau Vespa keluaran tahun 1965 misalnya. 

Seiring dengan perjalanan waktu maka mulailah sebuah evolusi kepunahan atas Vespa Congo di tanah air terjadi.

Banyak sebab yang menjadikan hal tersebut terjadi, seperti telah dijualnya Vespa dimaksud oleh pemilik aslinya atau ada beberapa bagian yang rusak berat sehingga sangat sulit untuk diperbaiki.

Hal ini mengingat terbatasnya jumlah Vespa jenis tersebut yang disebabkan keberadaannya juga sangat signifikan dengan jumlah tentara kita yang menerima.

Walaupun penulis pernah menemui Vespa jenis tersebut yang bukan milik Pasukan Garuda Indonesia (sepertinya pernah juga Vespa jenis tersebut masuk ke Indonesia melalui importir Vespa waktu itu ),

namun tetap saja pasokan akan suku cadang maupun hal-hal lain yang menyertainya, seperti spakbor depan atau speedo meternya sangat minim tersedia. Tidak demikian halnya dengan Vespa jenis lain yang masih banyak diproduksi walaupun oleh rumah produksi lokal. 


Dengan kondisi tersebut di atas maka Vespa Congo mulai masuk daftar sebagai salah satu The Most Wanted Vespa in Indonesia, yang dijadikan tunggangan scooteris maupun sebagai barang koleksi bagi kolektor Vespa. 

Saudara Kandung Vespa Congo 

Salah satu keunikan Vespa Congo adalah Vespa jenis tersebut tidak diproduksi oleh Italy melainkan oleh German. Dengan berbahan baku plat baja yang lebih keras dari pada Vespa bulat umumnya, Vespa Congo memiliki tingkat kelengkapan lebih dari pada Vespa made in Italy yang umum beredar di Indonesia (VBB1T maupun VBB2T).

Vespa Congo adalah bukti penetrasi scooter produk Italy yang merambah dunia. Untuk dapat mengetahui hal ini dapat dimulai dari perkembangan Vespa di German. 

Jacob Oswald Hoffmann adalah pemilik pabrik sepeda di Lintorf, sebuah kota yang terletak di Utara Dusseldorf. Dia membangun sendiri pabrik tersebut dengan membeli sebidang tanah yang diatasnya telah berdiri beberapa gedung bekas pabrik pacul/cangkul setelah berakhirnya perang.

Suatu ketika pada awal 1949 ia mendapati beberapa foto vespa hasil jepretan wartawan berada diatas meja kerjanya. Dari sini ada perbedaan yang fundamental, kemudian Hoffman mencari tahu lebih banyak mengenai objek foto tersebut. 

Kesempatan datang saat di Frankfurt Show, dimana Hoffmann dan Vespa bertemu langsung untuk pertama kalinya. Dari sana kemudian Hoffmann berkeinginan membangun pabrik Vespa di Lintorf.
Ia kemudian mengajukan kepada Piaggio untuk diberikan lisensi membangun Vespa bagi pasar German. 

Piaggio sangat mendukung permintaan Hoffmann tersebut. Mereka kemudian melihat secara langsung kemungkinan akan pasar Vespa di German dan mendapatkan bahwa Vespa dapat diterima oleh pasar German.

Langkah berikutnya adalah mereka mengadakan pendekatan kepada beberapa importir, akan tetapi para importir tersebut tidak ada yang berminat. Penundaan ini diminimalisir dengan mempercepat penandatanganan kesepakatan kerjasama diantara keduanya, dan mulailah Hoffmann sebagai pemilik lisensi utama atas produk Vespa untuk seluruh German Barat juga sebagian pasar Vespa di bagian Utara negara tersebut dan berhak atas export ke Belanda, Belgia serta Denmark.

Pertanggung jawaban penjualan untuk wilayah bagian Selatan negara tersebut ditangani oleh Vespa Marketing GmbH di Frankfurt. 

Vespa ternyata cepat populer di German, media massa mengangkatnya sebagai produk yang inovatif dan stylis serta memuji Piaggio atas ciptaanya berupa kendaraan transportasi roda dua yang sangat menarik.

Tahun 1953, pabrik Hoffmann telah memproduksi lebih dari 400 unit Vespa setiap minggunya. Akan tetapi memasuki tahun-tahun berikutnya angka produksi menurun hingga setengahnya.

Dalam kondisi perekonomian German yang tidak menguntungkan tersebut, Hoffmann percaya akan jalan keluarnya yaitu tetap pada jalur kompetisi dan ia menciptakan Vespa dengan performa yang lebih bagus. 

Kemudian ia menciptakan Vespa dengan sebutan model Konigin yang terlihat gagah dengan ditambahkan sentuhan chromm serta lampu depan dan lain sebagainya.

Biaya pengembangan Konigin ternyata sangat mahal, dan membahayakan kondisi keuangan Hoffmann. Pembuatan scooter jenis baru lainnya juga menjadikan kerjasama antara Hoffmann dengan Piaggio terputus, memasuki awal tahun 1955 kongsi keduanya bubar. 

Piaggio kemudian menjalin hubungan dengan Messerschmitt Co., yang kemudian mengeluarkan produksi Vespa pertama di tahun 1955.
Mereka mengeluarkan dua model yaitu 150 Touren dan GS yang diklaim lebih dahsyat.

Mereka juga menyediakan purna jual dan service serta spare part bagi Vespa produksi Hoffmann. Kerjasama ini berlanjut hingga akhir tahun 1957. 

Setelah itu berdirilah Vespa GmbH Augsburg, perusahaan patungan antara Piaggio dan Martial Fane Organisation, kongsi ini kemudian juga menyediakan beberapa bagian bagi Vespa Messerschmitt.

Kedua model yang dibuat saat kongsian dengan Messerschmitt (150 Touren dan GS) kemudian dikembangkan dengan beberapa modifikasi. Selain itu Vespa GmbH Augsburg juga melahirkan Vespa 125 cc yang pertama kali diperkenalkan dalam tahun 1958.

 Produksi berlanjut hingga tahun 1963, yang merupakan saat puncak perubahan scooter dan produksinya yang sudah tidak terlalu banyak. Pada kelanjutannya German kemudian mengimpor Vespa langsung dari Italy. 

Dari uraian tersebut di atas dimanakah saudara kandung Vespa Congo kita sebenarnya? Ada beberapa hal yang patut diperhatikan disini yaitu, pertama dari sisi tahun kerjasama antara Piaggio dengan beberapa perusahaan di German dan kedua dari sisi tahun serta nomor produksi yang menyertai Vespa Congo itu sendiri.

Dari penulusuran penulis terhadap beberapa Vespa Congo yang ada berdasarkan tahun keluaran dalam BPKB adalah tahun 1958 hingga 1963,

hal ini sangat sinkron apabila dikaitkan dengan selesainya tugas Pasukan Garuda Indonesia saat menjadi pasukan penjaga perdamaian di Congo. Untuk kurun waktu tersebut maka kerjasama antara Piaggio dengan Hoffmann tidak masuk hitungan.

Hal ini disebabkan kongsian keduanya bubar di tahun 1955 dan produk dari kerjasama itupun berbentuk Vespa dengan model stang sepeda dan menggunakan Fender Light. Kerjasama kedua Piaggio di German bersama Messerschmitt.

Dari kerjasama inilah keluar produk Vespa GS yang sering disebut di Indonesia GS versi German dan 150 Touren yang merupakan cikal bakal Vespa Congo kita, akan tetapi kongsian itupun tidak bertahan lama karena di tahun 1957. mereka bubar.
Namun pengembangan GS dan 150 Touren terus berlanjut, saat Piaggio kerjasama dengan Martial Fane Organization dengan mendirikan Vespa GmbH Augsburg 1958, dari kerjasama inilah kemudian lahir apa yang kita sebut sebagai Vespa Congo.